Teologi Pembebasan

Wacana ini saya dapatkan beberapa tahun lalu. Dari beberapa literatur yang saya baca asal mula wacana mengenai teologi pembebasan ini muncul dari tradisi Kristen(mungkin nyambung juga ama Etika Protestan-nya Weber), khususnya berkembang di daerah miskin. Kalau Marx sempat menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, maka teologi pembebasan malah menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau landasan untuk bergerak. Keduanya sebenarnya sama-sama melawan penindasan meski sudut pandang keduanya menurut saya bertolak belakang. Marx dalam kacamata saya, menganggap agama, terutama jika dikaitkan dengan periode ia hidup, tampak menjadi sebuah kekuasaan yang menindas. Surat-surat penebusan dosa diperjualbelikan dengan harga tinggi, para petinggi agama memiliki akses yang tinggi terhadap kekuasaan dan bisa bertindak semena-mena, sedangkan kaum papa, dicekoki dengan kisah-kisah manusia suci dimana mereka senantiasa ketakutan akan dosa-dosa mereka dan parahnya lagi, keadaan mereka yang tertindas seringkali digambarkan memang sudah seharusnya seperti itu, sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Sedangkan sudut yang digunakan oleh teologi pembebasan adalah agama menjadi landasan/ideologi yang menggerakkkan mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terenggut.

Wacana ini sempat menjadi bahan pembicaraan hangat beberapa tahun lalu. Terutama jika dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan, kenapa Indonesia(yang mayoritas muslim) penuh dengan korupsi, pornografi(kedua terparah di dunia!!!) dan berbagai kebobrokkan moral lainnya. Apa yang salah, pemahamannyakah ataukah memang ada sebuah gap antara ibadah mahdhoh dan ghairu-mahdhoh? Dari sinilah muncul teologi pembebasan yang menggugat kemerdekaan manusia. Apa arti kemerdekaan, apa tujuan dari pembebasan? Kalau Marx sering menggunakan pemisahan klas dengan borjuis-proletar, maka di buku Islam dan Teologi Pembebasan yang digunakan adalah kata mustadafin(kaum tertindas). Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana Islam melindungi hak-hak kaum papa, kewajiban untuk membayarkan upah seseorang sebelum keringatnya kering, memperlakukan anak yatim, bagaimana peranan negara mengatur kesejahteraan rakyatnya dll. Lebih jauh lagi, Islam dan teologi pembebasan juga mengajarkan manusia untuk bergerak memperjuangkan kemerdekaan mereka yang sejati. Apa itu kesejatian dan bagaimana memperolehnya.

Saya kurang ingat detilnya secara persis, secara garis besar, baik dari pendekatan Islam maupun teologi pembebasan yang lain, mereka menggunakan agama sebagai kekuatan untuk bergerak. Hal inilah yang menyebabkan gerakan ini diberi nama teologi, karena perjuangan yang dibawa dikaitkan dengan keyakinan agama formal yang mereka miliki. Kalau dalam paradigma Islam, saya melihat semangat teologi pembebasan ini mirip dengan istilah Islam Kiri yang diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Menurut Hanafi Islam Kiri adalah perjuangan melawan kesewenang-wenangan, oleh karena itu ketika Rasulullah melawan kaum kafir Quraisy, Rasul mengusung Islam kiri. Namun lama-kelamaan Islam kiri ini mengalami pergeseran makna. Sekitar tahun 1999-2000an banyak buku-buku yang mengangkat tema ini mulai dari Islam Kiri terbitan LKiS dan GIP(kalau ngga salah isi keduanya agak bertentangan), Islam dan Sosialisme dll. Seingat saya, H.O.S Cokroaminoto(pendiri SI) juga merupakan gambaran yang cukup unik dalam menggambarkan semangat Islam Kiri.

Bagi saya ini hanya masalah cara pandang. Sekarang pun dengan memandang Islam tanpa embel-embel(Islam kiri, islam liberal, islam progresif dan masih banyak lagi), gerakan Islam sebagai sebuah kekuatan pembebas mulai terlihat. Artinya, ketika seseorang mengaku muslim, hal tersebut terlihat dari gaya hidup dan perilakunya, tidak terbatas pada waktu khusus lima kali sehari. Pemberian label, bisa positif maupun negatif. Positif jika ia dikaitkan dengan sebuah bagian dari sebuah bangunan, dalam hal ini embel-embel pembebasan bisa bergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, tanpa menafikan unsur lainnya, ia bisa benar-benar fokus dan maju dibidang kajian ini. Sedangkan bisa negatif jika ia dilihat sebagai sebuah bangunan mandiri yang tampak angkuh menantang dunia. Kalau ini terjadi, frase ‘Islam dan teologi pembebasan’ lagi-lagi bisa terjebak dalam sebuah gerakan praksis sekuler.

Leave a comment